PHI, Kuburan Keadilan Bagi Buruh
Segudang masalah di PHI tidak diimbangi dengan kemampuan buruh untuk beracara di persidangan.
Tak jauh beda dengan peradilan lainnya, peradilan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibentuk dengan filosofi peradilan yang cepat, tepat, adil dan berbiaya murah. Bicara filosofis artinya bicara mengenai kondisi ideal. Sementara antara idealitas dan realitas, kerap tidak pernah sinkron.
Demikian juga dengan wajah praktik peradilan kita. Alih-alih mencari hukum dan keadilan yang cepat, tepat, adil dan murah. Para pencari keadilan (justitiabelen) seringkali kecele. Mereka malah beroleh putusan pengadilan dari proses yang bertele-tele, tidak tepat, melukai keadilan dan biaya yang mahal. Hal yang sama juga dialami para buruh ketika memperjuangkan haknya di PHI.
Paling tidak, itu sebagian uneg-uneg para aktivis serikat buruh yang terungkap dalam Konferensi Praktisi Hukum Perburuhan 2008 yang dihelat Trade Union Right Centre (TURC) di kawasan Cipayung, Bogor pada 2-5 Februari 2008.
Simak saja pengakuan Bambang Hermanto, Ketua DPC SBSI ’92 Medan. Berdasarkan pengalamannya beracara di PHI Medan, hanya tiga kasus yang berhasil dimenangkan. “Sebanyak 12 perkara lainnya selalu kandas karena masalah formal gugatan,” ungkapnya. Jika kandas di tingkat formalitas, maka kita ketahui putusan hakim adalah gugatan tidak dapat diterima alias NO (Niet Ontvantkelijk Verklaard).
Bertele-tele
Indra Munaswar, Sekjen DPN Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSPTSK) mengungkapkan, UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) tidak secara jelas dan lengkap mengatur mengenai waktu penyelesaian perkara baik di tingkat PHI maupun MA. ”Bayangkan, buruh yang sudah tidak memiliki uang, harus berkali-kali mengikuti persidangan di PHI. Itu pun jika tidak dikasasi. Kalaupun menang di tingkat kasasi, eksekusinya sulit,” tutur Indra yang juga mengaku sebagai tim perumus UU PPHI ini.
Gindo Nadapdap, seorang advokat di Tim Pembela Keadilan untuk Buruh (TPKB) Medan, memiliki analisis tersendiri mengenai penyebab bertele-telenya proses di PHI. ”Karena hukum acara perdata yang kaku yang bersumber dari hukum kolonial itu masih dipraktikan di sidang PHI,” kata Gindo sambil menunjuk Pasal 57 UU PPHI.
Penerapan hukum acara perdata dalam perselisihan hubungan industrial dinilai adalah kebijakan yang tidak tepat. Hukum acara perdata yang digunakan dalam perkara perdata biasa lazimnya dipakai untuk perselisihan menyangkut harta benda, seperti masalah wanprestasi, sita jaminan kebendaan dan lain-lain.
Sementara itu perkara perselisihan hubungan industrial bukan perkara tuntut menuntut hak gaji maupun pesangon semata. ”Perkara perburuhan menurut kami adalah bencana kemanusiaan,” ucap Ki Agus Ahmad, pengacara publik LBH Jakarta. Disebut demikian karena jika hak seorang buruh terusik, maka hak beberapa anggota keluarganya pun ikut terusik.
Ada pendapat menarik dari Juanda Pangaribuan, hakim Adhoc PHI Jakarta. Menurutnya, pencantuman Pasal 57 adalah solusi dari kemalasan tim penyusun UU PPHI untuk membikin suatu hukum acara di PHI yang cepat, tepat, adil dan murah. ”Untuk mudahnya, mereka (tim perumus, red) memasukkan ke dalam Pasal 57,” keluhnya.
Sadar bahwa hukum acara perdata dirasa bertele-tele, PHI Jakarta mengambil kebijakan sendiri. ”Kami memangkas agenda replik dan duplik di persidangan. Kecuali hal yang sangat penting seperti masalah kompetensi,” tutur Juanda.
Tidak bermaksud untuk beromantisme. Timboel Siregar, Wakil Presien Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menceritakan bagaimana dulu proses persidangan di P4D/P4P yang tidak berbelit-belit. Cukup dua kali datang untuk memberikan keterangan serta bukti, buruh sudah bisa mendapatkan putusan dari P4D/P4P. Bahkan, P4D/P4P bisa mengadakan sidang di tempat jika lokasi kerja jauh dari P4D/P4P.
Terjebak Formalitas
Seperti disebutkan, Pasal 57 memang mengisyaratkan bahwa hukum acara perdata yang berlaku di PHI. Parahnya, majelis hakim juga kerap memposisikan diri layaknya hakim perdata di pengadilan umum, yang menganggap dirinya bersifat pasif di persidangan.
Padahal kalau merujuk pada ketentuan Pasal 83 Ayat (2) UU PPHI, hakim berkewajiban untuk memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Ketentuan pasal ini mirip dengan praktik dismissal process di PTUN, maupun proses pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi dimana intinya, hakim juga harus aktif untuk menemukan keadilan.
Namun sayang. Lagi-lagi idealitas dikalahkan realitas. Hampir semua peserta konferensi ini menyayangkan kepasifan hakim PHI untuk menjalakan Pasal 83 Ayat (2) ini. Hasilnya bisa ditebak, putusan NO pun menjamur di seluruh PHI di Indonesia.
Mengenai hal ini, hakim PHI tidak tinggal diam. Junaedi, salah satu hakim adhoc PHI Jakarta, kepada hukumonline melalui telepon menyatakan bahwa buruh yang sering keras kepala meskipun sudah diminta untuk memperbaiki gugatannya. ”Itu bukan hanya sekali dua kali,” kata Junaedi kala itu.
Masalah lain yang menyeruak lantaran majelis hakim PHI terlalu terjebak dengan pandangan formalistis adalah tidak pernah dijatuhkannya putusan sela agar pengusaha membayarkan upah pekerja yang sedang dalam proses PHK. ”Alasan hakim adalah karena pekerja tidak pernah bisa membuktikan adanya skorsing yang dilakukan pengusaha secara tertulis,” imbuh Indra.
Padahal, Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan Jo. Pasal 96 UU PPHI sudah mengatur tegas ketika pengusaha melakukan skorsing dalam rangka PHK, maka pengusaha tetap wajib membayarkan upah pekerja seperti biasanya. Hal itu akan dituangkan hakim dalam sebuah putusan sela. Jika tidak dilaksanakan, hakim bisa memerintahkan sita jaminan atas aset milik perusahaan.
Lebih jauh Indra menyayangkan sikap PHI yang tidak pernah memberikan putusan sela. Menurutnya, pengusaha bersikap licin dengan tidak mengeluarkan surat skorsing, namun memerintahkan pihak keamanan agar menghalangi buruh untuk bekerja.
Tidak Seragam
Keberadaan UU PPHI sejatinya bisa dijadikan sebagai pedoman bagi PHI untuk memeriksa dan mengadili satu perkara. Namun praktiknya antara PHI yang satu dengan PHI yang lainnya bisa menafsirkan UU PPHI berbeda-beda.
Salah satu contohnya adalah tata cara pengajuan gugatan. Pasal 83 Ayat (1) UU PPHI sudah menegaskan, hakim PHI wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat jika tidak dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
Faktanya, Indra Munaswar menuturkan adanya inkonsistensi hakim PHI dalam menafsirkan Pasal ini. ”Di PHI Jakarta dan PHI Serang cukup dilampirkan anjuran dari mediator atau konsiliator. Sedangkan PHI Bandung tetap membutuhkan risalah,” ungkapnya. Perbedaan penafsiran ini bukannya tanpa resiko. Indra tak bisa membayangkan jika MA meng-NO-kan putusan PHI Jakarta atau Serang karena tidak melampirkan risalah.
Mahalnya Berperkara
Meski baru terbentuk, PHI ternyata berbakat mewarisi karakter dari saudara tuanya, yaitu Pengadilan Umum. Seperti kita mahfum bersama, berperkara di Pengadilan Umum (Negeri) membutuhkan biaya yang luar biasa. Bahkan, sampai muncul anekdot yang mengatakan, ”Memperkarakan kehilangan kambing di pengadilan. Sama saja dengan kehilangan seekor sapi”.
Demikian pula di PHI. UU PPHI memang sudah menyatakan, perkara yang nilai tuntutannya di bawah Rp150 juta, dibebaskan dari biaya perkara. Namun, pada praktiknya, mereka tetap harus membayar biaya untuk mengikuti persidangan, leges, surat kuasa, legalisir bukti di pengadilan. ”Belum lagi ’uang sesajen’ untuk keperluan pencatatan gugatan,” tukas Indra.
Gindo Nadapdap mengungkapkan, berapa kocek yang minimal harus dikeluarkan buruh dari mulai mencatatkan gugatan hingga menerima salinan putusan di tingkat PHI. ”Paling tidak sekitar Rp750 ribu yang harus dikeluarkan buruh,” ungkapnya.
Memecah Konsetrasi
Jamaludin, Ketua Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) Jawa Timur, menengarai adanya upaya sistematis dari para pemilik modal melalui negara untuk memperlemah perjuangan buruh.
Buktinya, keberadaan UU PPHI ini memang menyita sebagian besar waktu para pengurus serikat pekerja (SP). ”Dalam seminggu, kami bisa bersidang sebanyak 4 kali di pengadilan yang berbeda,” kata Jamal. Dengan demikian, waktu bagi aktivis SP semakin menipis untuk mengorganisir di tingkat basis.
Pendapat senada diungkapkan Wirawan. Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Pasundan Bandung ini akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa UU PPHI memang di-setting sedemikian rupa untuk tidak berpihak kepada buruh. ”Jadi jangan salahkan serikat buruh ketika kalah di persidangan. Karena serikat buruh juga harus menguasai HIR (hukum acara perdata di Jawa dan Madura, red) dan RV (hukum acara perdata yang berlaku di luar Jawa dan Madura, red),” tuturnya.